Rabu, 06 April 2011

senengnya

bahagia, terharu, n bangga perasaaan yang muncul saat namaku di kenal oleh profesor nur syam, selaku rektor kampusku IAIN Sunan Ampel Surabaya, tak ku sangka namaku bisa di ingat olehnya karena tulisanku masuk di rubriknya jawa pos for her pada desember lalu.

ucapan selamat tiba-tiba datang menghampiriku, bahagia memang karena ternyata pak rektor bangga memiliki mahasiswa macam aku, memang aku baru menorehkan karyaku satu kali, itupun karena desakan n anjuran dari kakak yang berinisial AH untuk memasukkan tulisanku di jawa pos for her, meski aku tidak masuk dalam 25 besar untuk memenangkan hadiah pergi ke amerika tapi bagiku tulisanku bisa masuk di jawa pos dan di baca oleh banyak orang sehingga rektorpun memberikan apresiasi sedemikian itu di depan teman-teman mahasiswa yang menghadiri pelantikla dema di ruang sidang rektorat.

tapi bagiku rasa bangga itu tak lebih hanyalah perasaan bahagia, karena di kenal oleh banyak orang dengan di sebutkan nama, fakultas, n asal daerah ku di depan teman-teman, tapi di balik itu aku menyimpan kesedihan yang mungkin tak pernah di fikirkan oleh teman-teman.

seperti yang teman-teman tahu aku hanyalah mahasiswa yang datang dari desa pinggiran di kota bojonegoro, dan dari keluarga yang gak punya sehingga untuk biaya kuliah di surabayapun aku harus berjuang untuk biaya kuliah dan biaya hidupku selama di surabaya, aku tak mungkin merengek ke orang tua untuk mengirim biaya sekian juta, karena untuk menyambung hidup di rumahpun orang tua sangatlah sulit.

maaf sebelumnya pak rektor aku telah meminta bantuanmu, awal semester 6 ini aku memang lagi kesulitan biaya sehingga aku meminta bantuanmu, n terima kasih engkau berikan 300 ribu hingga ku tak jadi mengambil cuti, mungkin aku satu-satunya mahasiswa cewek yang berani mengutarakan kesulitanku di depanmu pak,aku beranikan diri karena aku butuh n mungkin penilaianmu aku tak punya malu, tapi beruntungnya aku karena aku memiliki rektor sepertimu, orang yang baik hati, tetapi ku harapkan kebaikanmu tidak selesai cukup sampai disini, karena ku dengar KKN tahun ini harus merogoh kocek mahasiswa, sehingga ku juga menjadi korban atas itu. ku harapkan bapak bersama rekan-rekan rektorat sudi memikirkan mahasiswa macam aku, karena ku yakin banyak mahasiswa sepertiku tapi tak beranikan diri tuk ungkapkan kepadamu.
ku harapkan jeritan hatiku ini akan kau baca..... maaf jika coretan ini menyakitimu
terim,a kasih atas bantuanmu.

Efek Komunikasi Massa

Efek Komunikasi Massa

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Psikologi Konseling”











Dosen Pengampu:
Mukhoiyaroh, M.Ag


Oleh:
Aisyah Umaroh
D03208046




FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan teknologi telah membawa kita pada era komunikasi massa sejak ditemukannya mesin cetak Guttenberg yang memungkinkan diproduksinya buku-buku secara massal sampai mencapai puncaknya setelah ditemukannya internet. Penemuan Guttenberg mendorong terbitnya surat kabar pertama. Setelah revolusi industri dan teknologi, listrik yang memacu energi pabrik dan transportasi, melandasi muncul dan berkembangnya radio, film, dan televisi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan teknologi informasi yang multimedia seperti jaringan internet.
Sejak tahun 1964 komunikasi massa telah mencapai publik dunia secara langsung dan serentak. Melalui satelit komunikasi sekarang ini kita dimungkinkan untuk menyampaikan informasi (pesan) berupa data, gambar, maupun suara kepada jutaan manusia di seluruh dunia secara serentak. Perkembangan teknologi komunikasi/informasi yang bergerak cepat membawa kita menuju era masyarakat informasi, dimana hampir segala aspek kehidupan dipengaruhi oleh keberadaan media yang semakin jauh memasuki ruang kehidupan manusia.
Wilbur Schramm menyatakan bahwa luas sempitnya ruang kehidupan seseorang, yang awalnya ditentukan pada kemampuan baca tulis, selanjutnya ditentukan oleh seberapa banyak ia bergaul dengan media massa. Artinya media memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan manusia.
Dengan adanya pengaruh media massa yang di timbulkan kepada masyarakat, pasti aka nada banyak efek yang di timbulkan dari efekk afektif, efek kognitif, hingga efek behavioral, untuk itu penulis akan menjabarkan berbagai efek yang di timbulkan oleh media massa sebagai permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini dengan tema “efek Media Massa dalam masyarakat”


B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana efek kehadiran media massa?
2. Bagaimana efek kognitif komunikasi massa?
3. Bagaimana efek afektif komunikasi massa?
4. Bagaimana efek behavioral komunikassi massa?

C. TUJUAN
Dengan mengetahui efek yang di timbulkan oleh media massa baik itu efek yang negative maupun efek yang positif, di harapkan kepada penulis dan mahasiswa
psikologi komunikasi khususnya dapat menggunakan media massa sebagai media yang dapat di manfaatkan semaksimal mungkin dan tidak di perbudak oleh media.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Efek Kehadiran Media Massa
McLuhan mengatakan bahwa “Media adalah pesan itu sendiri”, yang dimaksud adalah apa yang disampaikan media kepada masyarakat ternyata lebih dari apa yang akan diterima masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media. Artinya adanya materi cetak lebih penting dari kandungan maksud yang disampaikannya, dan keberadaan televisi lebih penting daripada apa yang ditayangkannya.
Kita tidak harus setuju dengan McLuhan, misalnya bahwa isi pesan tidak sepenting media itu sendiri, namun kita sepakat tentang adanya efek media massa dari kehadirannya sebagai benda fisik. Steven H. Chaffee menyebut lima hal:
1. Efek ekonomis, Efek ekonomi sudah jelas, bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha. Mulai dari mereka yang memiliki usaha misalnya usaha dalam bidang perj\hotelan dapat membayar iklan untuk menarik para pengguna jasa hotelnya lewat media, entah lewat media elektronik maupun media cetak. Dan bisa di pastikan akan laku keras jika di bandingkan dengan usaha yang tidak di iklankan.
2. efek sosial, berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi social akibat kehadiran media massa. Setelah kehadiran televise misalnya di pedesaan seseorang akan terlihat berbeda dengan mereka yang tiudak memiliki televise, karena mereka yang memiliki televise akan megetahui kejadian di luar tempat tinggalnya, meski ia hanya duduk-duduk di rumah seharian.
3. efek pada penjadwalan kegiatan sehari-hari, terjadi terutama dengan kehadiran televisi. Kehadiran televisi dapat mengurangi waktu bermain, tidur, membaca, dan menonton film. Gejala ini disebut oleh Joyce Cramond (1976) sebagai “displacement effects” (efek alihan) yang ia definisikan sebagai reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya televise; beberapa kegiatan dikurangi dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi.
4. efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu Sering terjadi orang menggunakan media untuk menghilangkan perasaan tidak enak, misalnya kesepian, marah, kecewa, Media dipergunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikan. Dengan melihat berbagai acara yang di tampilkan oleh televise misalnya seseorang secara tiba-tiba akan tertawa dan menangis sendiri karena melihat adegan dalam acara televise tersebut.
5. efek pada perasaan orang terhadap media. hilangnya perasaan tidak enak dan tumbuhnya perasaan tertentu terhadap media massa. Kehadiran media massa juga menumbuhkan perasaan tertentu. Kita memiliki perasaan positif atau negatif pada media tertentu. Tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada media massa tertentu mungkin erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut; boleh jadi faktor isi pesan mula-mula amat berpengaruh, tetapi kemudian jenis media itu yang diperhatikan, apa pun yang disiarkannya.


B. Efek Kognitif Komunikasi Massa
Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan. Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi.
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.
Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Robot Gedek” mampu melakukan sodomi dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.
Menurut Mc. Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera). Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung . Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.
Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting.
Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial behavioral


C. Efek Afektif Komunikasi Massa
Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya. Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.
Kegembiraan juga tidak dapat diukur dengan tertawa keras ketika menyaksikan adegan lucu. Tetapi para peneliti telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan media massa. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Suasana emosional, menonton sebih sinetron di televisi atau membaca novel akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita. Adegan-adegan lucu akan menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya dalam keadaan senang.
2. Skema Kognitif, merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur peristiwa. Kita tau bahwa dalam sebuah film action ‘sang jagoan; pada akhirnya akan menang.
3. Suasana Terpaan (Setting Exposure), Tayangan misteri di tv, membuat kita berpikir bahwa kehidupan mahluk itu adalah sebagaimana yang kita lihat dalam film atau sinetron tersebut.
4. Predisposisi Individual, mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi trahdi lebih emosional daripada orang yang periang. Orang yang periang akan senang bila melihat adegan-adegan lucu atau film komedi daripada orang yang melankolis. Beberapa pnelitian membuktikan bahwa acra yang sama bisa ditanggapi berlainan oleh orang-orang yang berbeda.

5. Faktor Identifikasi, menunjukkan sejauhmana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditonjolkan dalam media massa. Dengan identifikasi, penonton, pembaca atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh tersebut.
Dalam kaitannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum:
1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang berkenaan dengan faktor personal).
2. Karena faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977:149).
Artinya semua sikap bersumber pada organisasi kognitif – pada informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang (Asch, 1952:563-564). Singkatnya, sikap ditentukan oleh citra. Pada gilirannya, citra ditentukan oleh sumber-sumber informasi. Di antara sumber informasi yang paling penting adalah media massa.
Para peneliti kebanyakan tidak berhasil menemukan perubahan sikap yang berarti sebagai pengaruh media massa. Berbagai dalih dikemukakan, namun ada satu yang dapat menjelaskan dengan lebih baik mengapa demikian. Menurut Asch, semua sikap bersumber pada organisasi kognitif – pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, atau orang. Tidak akan ada teori sikap atau aksi-sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitifnya.
Seperti yang dikemukakan Oskamp, pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok. Khalayak tidaklah seragam, mereka memiliki keunikan dan kesadaran individu. Bahkan dalam satu kelompok mahasiswa, penulis mendapatkan fakta-fakta yang jauh berbeda dan berlawanan.
Dalam studi komprehensifnya mengenai dampak media massa, Joseph T. Kappler melaporkan bahwa orang-orang mencari hiburan acapkali karena mereka ingin melepaskan tekanan emosinya dari beratnya kehidupan sehari-hari. Mereka ingin menentramkan perasaan dengan cara membaca komik, menonton film bioskop, serta menikmati acara hiburan di radio dan televisi. Di samping itu, hiburan juga berfungsi sebagai elemen penting kehidupan yang baik, bahkan juga bisa berfungsi sebagai simbol status. Paling tidak, hiburan membantu seseorang merasa gembira. Komik hiburan, novel, maupun film atau kartun, mampu mempengaruhi emosi (afeksi) pembaca atau penontonnya dengan lebih baik dari berita di surat kabar atau televisi.

D. Efek Behavioral Komunikasi Massa
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai efek yang sama.
Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi dan pemutaran film. Sebagian lagi melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program “Buser” di SCTV menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya, namun apa yang didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama yang dilakukan anak-anak SD. Inilah yang dimaksud perbedaan efek behavior. Tidak semua berita, misalnya, akan mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.
Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita. Efek prososial media massa dapat dijelaskan oleh teori Belajar Sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Bandura menjelaskan proses belajar social dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Proses belajar diawali munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung oleh seseorang tertentu atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai abstract modelling – misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas social. Melalui media massa, seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di televisi, misalnya, dan dapat mempraktekkan perilaku itu dalm kehidupannya.
Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian ialah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, atau menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya. Selain pengaruh factor personal, faktor-faktor lain sebagai penentu dalam pemilihan apa yang akan diperhatikan dan diteladani adalah: karakteristik demografis, kebutuhan, suasana emosional, nilai, dan pengalaman masa lalu.
Setelah pengamatan, proses selanjutnya adalah penyimpanan hasil pengamatan dalam pikiran untuk dipanggil kembali saat akan bertindak sesuai teladan yang diberikan. Kemudian pada proses reproduksi motoris seseorang menghasilkan kembali perilaku teladan atau tindakan yang diamatinya. Pelaksanaan perilaku teladan dapat terjadi ketika dikuatkan dengan suatu penghargaan atau motivasi. Inilah yang disebut proses motivasional.
Media massa mampu mempengaruhi perilaku khalayaknya. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Hampir semua responden yang penulis amati berperilaku mengikuti trend yang ditampilkan oleh televisi. Cara berbicara dengan menggunakan bahasa gaul, cara berpakaian artis dalam sinetron, penggunaan produk-produk yang ditampilkan oleh iklan, sampai cara mengemukakan pendapat ala mahasiswa yang identik dengan demonstrasi dan membakar ban di jalan raya.
Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang-orang sekita kita.bila peristiwa itu sudah dianati, terjadilah tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita baru pata mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani, namun tidak semua peristiwa itu kita perhatikan.
Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benak benaknya dan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut visual imagination, yaitu gambaran mental tentang peristiwa yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut seabagi “rehearsal”.
Selanjutnya, proses reroduksi artinya menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati. Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kitam atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa Indoensia dalam TVRI dan surat kabar berhasil, bila ada iklim yang mendorong penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar.
Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan baik kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Secara teoritis, agak sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila pejabat-pejabat yang memiliki reutasi tinggi justru berbahasa Indonesia yang salah. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendaat ganjaran (pujian, penghargaan, status, dn sebagainya), tetapi melihat orang lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani membantu terjadinya reproduksi motor.
Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan mengikuti anjuran berbahasa Indonesia yang benar bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan kontribusi bagi kelestarian bahasa Indonesia.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Efek kehadiran media; memiliki perasaan positif pada media televisi dibandingkan media lainnya. Karenanya televisi lebih mendapat kepercayaan sebagai sumber informasi dan hiburan. Efek kehadiran televisi adalah penjadwalan ulang berbagai kegiatan. Kegiatan mereka, termasuk kuliah, ikut terpengaruh oleh jadwal acara televisi yang mereka tonton.
Efek Kognitif media; media merupakan sumber informasi yang membantu mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan mengenai berbagai aspek kehidupan. Efek kognitif yang positif memberikan wawasan yang luas kepada para mahasiswa dan membantunya memahami berbagai persoalan. Efek negatifnya adalah memberikan pandangan yang keliru atau parsial mengenai dunia, juga menanamkan ideologi tertentu yang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya kemudian. Namun efek kognitif yang positif masih kurang di kalangan mahasiswa. Efek kognitif inilah yang mendasari perubahan sikap dan perilaku seseorang dan mempengaruhi prioritasnya dalam hidup.
Efek afektif media; selain memberikan informasi, media memberikan efek emosional pada diri khalayaknya. Efek afektif media diantaranya mampu mempengaruhi khalayak mahasiswa untuk lebih peduli pada masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Efek behavioral media; media juga dapat mempengaruhi perilaku khalayaknya. Sebagian besar, jika tidak semua, mahasiswa mengikuti teladan yang diberikan media. Perilaku dan gaya hidup yang ditampilkan televisi banyak ditiru di kehidupan nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi – Edisi Revisi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Rivers, William L., Jay W. Jensen, & Theodore Peterson, 2003 Media Massa & Masyarakat Modern, Jakarta: Prenada Media

http://bagusboedhi.blogspot.com/2009/03/efek-komunikasi-massa-komunikasi-massa.html

?Nilai Budaya dalam Masyarakat

Nilai-Nilai dan Budaya Dalam Masyarakat


Makalah ‎

‎ Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Psikologi Lintas Budaya”






Oleh :
‎Aisyah Umaroh
D03208046

Dosen Pengampu :‎
Drs.H. Masyhudi Ahmad, M.Pd.I.


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
‎2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari semua manusia di muka bumi ini tidak akan pernah bisa terlepas dari yang namanya nilai-nilai, baik itu nilai social, nialai pribadi, maupun nilai budaya.
Di dalam masyarakat yang sangat beragam tentunya nilai yang di gunakanpun akan sangat beragam, karena ada pepatah “lain ladang lain pula belalang” dari pepatah ini tentunya kita sudah dapat memahami akan adanya aturan, nilai, adat yang sangat berbeda dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Dengan adanya masalah yang beragam di masyarakat itulah akhirnya penulis mencoba membahas Dalam makalah ini dengan menjabarkan beberapa definisi tentang nilai sekaligus factor-faktor nilai dan juga nilainya,

B. Rumusan masalah
A. Apakah nilai itu?
B. Apakah fungsi dari nilai?
C. Bagaimana Teori-teori nilai dan pengukurannya ?

C. Tujuan
Mengetahui dan memahami tentang nilai,fungsi dari nilai dan teori-teori tentang nilai sehingga tidak kebingungan dalam menghadapi di masyarakat yang pluralsm,e yang tentunya memiliki budaya dan nilai yang sangat berbeda.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi nilai
Menurut beberapa ahli dalam bukunya tiri daya kisni dan salis yuniardi yang berjudul “Psikologi lintas budaya” menyebutkan:
a. loners dan malpasss (1994) nilai melibatkan keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang di inginkan dan yang tidak di inginkan dan tujuan atau keadaan akhir yang di inginkan atau tidak di inginkan.
b. kluckhohn (dalam adi subroto1993) menyatakan bahwa nilai merupakan suatu konsepsi yang dapat terungkap secara eksplisit atau implicit yang menjadi cirri khas individu atau karakteristik suatu kelompok mengenai hal-hal yang di inginkan dan berpengaruh terhadap proses seleksi dan sejumlah modus, cara dan hasil akhir suatu tindakan.
c. Geerthofstede (dalam dananjaya, 1986) berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu di banding dengan yang lain. Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang di miliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak-tanduk perilaku masyarakat.
d. Rokeach (dalam looner dan malpass,1994) nilai adalah suatu keyakinan yang relative stabil tentang model-model perilaku spesifik yang di inginkan dan keadaan akhir eksistensi yang lebih di inginkan secara pribadi dan social dari pada model perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang berlawanan atau sebaliknya. Yang akhirnya ia berpendapat nilai menduduki posisi di tengah-tengah antara kebudayaan sebagai anteseden dan perilaku manusia sebagai koinsekwensi, karena posisinya yang sentral inilah akhirnya nilai bisa di katakana variable bebas atupun variable terikat.

Sebagai variabel bebas terhadap perilaku manusia, di sini nilai sama fungsi psikisnya seperti sikap, kebutuhan dan sebagainyayang memiliki dampak luas terhadap hamper semua aspek perilaku manusia dalam konteks sosialnya. Sebagai variable terikat terhadap pengaruh social budaya dari masyarakat yang di huni yang merupakan hasil pembentukan dari factor-faktor kebudayaan, pranata dan pribadi-pribadi dalam masyarakat tersebut selama hidupnya.
Kaitan antara sikap, nilai dan tingkah laku dapat di gambarkan sebagai berikut:








Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pengaruh nilai-nilai budaya pada nilai-nilai pribadi dan kebutuhan seseorang. Sedangkan nilai-nilai pribadi dan kebutuhan saling mempengaruhi. Keduanya mempengaruhi sikap dan keyakinan seseorang dan tingkah lakunya. Kebutuhan-kebutuhan seseorang lebih menentukan akan adanya perilaku, sedangkan nilai-nilai pribadi begaimana perilaku yang akan terjadi.

B. Fungsi nilai
Nilai mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia (adisubroto, 2000) yaitu sebagai berikut:
a. Nilai berfungsi sebagai standart, yaitu standart yang menunjukkan tingkah laku dari berbagai cara, yaitu :
1. Membawa individu untuk mengambil posisi khusus dalam masalah social.
2. Mempengaruhi individu dalam memilih ideologi politik atau agama.
3. Menunjukkan gambaran-gambaran self terhadap orang lain
4. Menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan atas diri sendiri dan orang lain.
5. Merupakan pusat pengkajian tentang proses-proses perbandingan untuk menentukan individu bermoral dan kompeten.
6. Nilai di gunakan untuk mempengaruhi orang laina tau mengubahnya
7. Nilai sebagai standart dalam proses rasionalisasi yang dapat terjadi pada setiap tindakan yang kurang dapat di terima oleh pribadi atau masyarakat dan meningkatkan self-esteem.
b. Nilai berfungsi sebagai rencana umum (general plan) dalam menyelesaikan konflik dan pengambilan keputusan.
c. Nilai berfungsi motivasional. Nilai memiliki komponen motivasional yang kuat seperti halnya komponen kognitif, afektif, dan behavioral.
d. Nilai berfungsi penyesuaian, isi nilai tertentu di arahkan secara langsung kepada cara bertingkah laku serta tujuan akhir yang berorientasi pada penyesuaiam. Nilai berorientasi penyesuaian sebenarnya merupakan nilai semu karena nilai tersebut di perlukan oleh individu sebagai cara untuk menyesuaikan diri dari tekanan kelompok. Di dalam proses penyesuaiannya pertama-tama individu mengubah nilai secara kognitif ke dalam nilai yang dapat di pertahankan secara social maupun personal, dan nilai yang demikian pasti akan mudah untuk penyesuaianm diri dengan nilai yang berbeda.
e. Nilai berfungsi sebagai ego defensive. Di dalam prosesnya nilai mewakili konsep-konsep yang telah tersedia sehingga dapat mengurangi ketegangan dengan lancer dan mudah
f. Nilai berfungsi sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri. Nilai sebagai modal tingkah laku atau cara bertin dak secara eksplisit maupun implisit melibatkan fungsi aktualisasi diri. Fungsi pengetahuan berarti pencarian arti kebutuhan untuk mengerti, kecenderungan terhadap kesatuan persepsi dan keyakinan yang lebih baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi.


C. Teori-teori nilai dan pengukurannya.
Beberapa teori mengenai nilai dalam psikologi lintas budaya antara lain :
1. Teori rokeach
Rokeach memandang nilai sebagai suatu keyakinan yang relatif stabil dalam perwujudannya dapat di jadikan menjadi dua kategori yaitu :
a. Nilai instrumental
Nilai sebagai alat atau instrumental dapat bersifat dua macam yaitu sebagai nilai moral adalah niolai yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan intrapersonal terhadap hati nurani. Sedangkan sebagai nilai kompetensi atau aktualisasi diri adalah nilkai instrumental yang fokusnya lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu kelihatan berkaitan langsung dengan moralitas.jika terjadi pelanggaran terhadap nilai kompetensi akan berakibat adanya perasaan malu karena ketidak mampuan diri.
b. nilai terminal.
Di bagi menjadi dua macam yaitu bersifat pribadi yaitu nilai di pusatkan pada diri sendiri dan bersifat sosial yaitu nilai yang di pusatkan pada masyaraklat.
Berdasarkan survey nilai rokeach (dalam robbins, 1996) masing-0masing perangkat nilai terdiri atas 18 item nilai individu yaitu :
a. nilai instrumental yang merujuk pada modus perilaku yang lebih di sukaiatau cara mencapai nilai terminal. Aspek yang terkandung di dalamnya adalah : ambisius/giat bekerja, berwawasan luas, mampu, efektif, riang gembira, bersih, berani, memaafkan, bekerja tuk kesejahteraan orang lain, jujur, imaginatif, dan lain sebagainya
b. nilai terminal merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat di inginkan. Aspek yang terkandung di dalamnya adalah hidup nyaman, hidup menggairahkan, rasa berprestasi, dunia damai, dunia yang indah, kesempatan yang sama untuk semua, keamanan keluarga, kemerdekaan, kebahagiaan, harmoni, persahabatan sejati.
Teori ini memiliki kelebihan yaitu : mudah dalam administrasi p[enyelenggaraannya dan responden poada umumnya tertarik. Selain itu teori ini juga memliki kelemahan yaitu prosedur ranking hanya memberikan informasi tentang kepentingan relatif dari nilai-nilai yang berbeda dan bukan kepentingan absolut. Terlebih tiap nilai hanya di sajikan dalam bentuk item tunggal karena lebih baik jika di gunakan item ganda untuk tiap-tiap nilai sehingga akan lebih valid.
2. Teori schwartz
Alat ukur tentang nilai yang di susun oleh schwarts menggunakan prosedur ranting dan masih di pengaruhi oleh gaya pengukuran rokeach dalam memisahkan antara nilai instrumental dan n ilai terminal dan menyajikan tiap nilain dalam satu item. Dalam teori ini ada tiga persyaratan bagi eksistensi manusia sehingga semua individu dan masyarakat akan respondif terhadapnya yaitu untuk memnuaskan kebutuhan biologis, untuk mencapai interaksi sosial yang terkoordinir , dan untuk mempertemukan tuntutan institusi untuk mempertahankan hidup dan kesejahteraan kelompok.
Nilai-nilai itu menurut schwartz di klasifikasikan ke dalam sejumlah domain-domain motivasional atau tipe-tipe nilai yang terdiri dari : (a)menuju diri sendiri (self direction) (b)rangsangan (stimulation) (c)menikmati kehidupan (hedonisme) (d)Prestasi (achievement) (e)kekuyasaan (power) (f) keamanan (security) (g) penyesuaian terhjadap tekanan kelompok (conformity) (h) mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang berlaku (tradition) (I) spiritualitas (j) kebajikan (k) universalisme.
Jika tipe nilai yang di ajukan schwartz di analo\gikan dengan dimensi individualisme versus kolektifisme nampak bahwa tipe nilai di asumsikan mewakili domensi nilai individualistik (kekuasaan, prtestasi hedonisme, stimulatition,self-direction) sementara beberapa tipe nilai yang lain mewakili dimensi nilai kolektifistik (kebajikan,tradisi, kobnformitas) dan tipe lain lagi di anggap mewakili minat campuran (universalisme, keamanan)
3. Nilai hofstede dan kelompok ahli penghubung kultuir cina
Menurut hofstede secara universal dimensi-dimensi nilai-nilai budaya adalah individualisme-collectivisme, power distance, uncertainty avoidance, dan masculinity. Dimensi nilai-nilai individualisme mendukung anggotanya untuk otonom, menekankan tanggung jawab, dan hak-hajk pribadinya. Dimensi nilai collectivisme mendukung anggotanya untuk menyelaraskan tujuan dan kepentingannya kepada kelompok, bahkan jika perlu mengorbankan diri sendiri demi menjaga harmoni keliompok. Dimensi power distance adalah derajat ketidaksetaraan dalam kekuasaan (piower) antara individu yang memiliki kekuasaan atau status tinggi dengan yang rendah. Mastumoto menyebut dengan istilah perbedaan status yaitu derajat dimana budaya mempertahankan perbedaan status di antara anggota-anggotanya. Uncertainty avoidance adalah derajat dimana budaya mengembangkan institusi dan ritual untuk menyesuaikan dengan kecemasan akibat ketidak pastian dan samar-samar. Masculinity yaitu derajat dimana budaya mendukung perbedaan gender di antara anggota-anggotanya.
Nilai individualism-collectivism di dasarkan pada empat aspek yaitu:
1. Keserasian dalam bersosialisasi (social harmony)
2. Bekerjasama dalamkelompok social (cooperation in social group)
3. Pengendalian diri dalam hubungan dengan kelompok social (self-control)
4. Membagi pengakuan atas penghargaan ( social sharing of recognition)]
Berdasarkan empat itemn tersebut kemudian di sajikan persyaratan dalam hubungan dengan empat kelompook social dari pihak yang berinteraksi yaitu keluarga, teman karib, kolega, dan orang asing.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai adalah suatu keyakinan yang relative stabil tentang model-model perilaku spesifik yang di inginkan dan keadaan akhir eksistensi yang lebih di inginkan secara pribadi dan social dari pada model perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang berlawanan atau sebaliknya. Yang akhirnya ia berpendapat nilai menduduki posisi di tengah-tengah antara kebudayaan sebagai anteseden dan perilaku manusia sebagai koinsekwensi, karena posisinya yang sentral inilah akhirnya nilai bisa di katakana variable bebas atupun variable terikat.
Pengaruh nilai-nilai budaya pada nilai-nilai pribadi dan kebutuhan seseorang. Sedangkan nilai-nilai pribadi dan kebutuhan saling mempengaruhi. Keduanya mempengaruhi sikap dan keyakinan seseorang dan tingkah lakunya. Kebutuhan-kebutuhan seseorang lebih menentukan akan adanya perilaku, sedangkan nilai-nilai pribadi begaimana perilaku yang akan terjadi.
Nilai mempunyai beberapa fungsi sebagai standart, sebagai rencana umum, motivasional, penyesuaian, sebagai ego defensive, sebagai pengetajhuan dan aktualisasi diri.
Dan teori-teori yang mengenai nilai dalam psikologi lintas budaya, teorinya Teori rokeach, schwartz, dan hofstede.

DAFTAR PUTAKA

Kisni, tridaya & Yuniardi, salis, 2004, Psikologi lintas budaya, Malang : UMM pers,

Senin, 10 Januari 2011

Representasi Pada Analisis Berita

Representasi Pada Analisis Berita
Representasi merupakan penghadiran kembali sebuah fakta melalui kata. Dalam merepresentasikan sebuah berita, setiap kepala wartawan/penulis berita pasti di hadapkan dengan beberapa pendekatan yang menjadikan missrepresentasi. Di antara pendekatan tersebut adalah
1. Ekskomunikasi adalah menghadirkan suatu berita dengan menganggap salah satu pihak merupakan the other karena dalam konteks ini ada We n the other. sehingga kelompok minoritas tidak berhak mendapatkan kesempatan untuk berbicara
Misalnya: islam di barat ketika di tampilkan islam merupakan agama sarang teroris dan mengajarkan untuk menjadi teroris. salah satu dari bagian umat islampun tak satupun yang di wawancarai sehingga secara langsung ia m,engatakn islam sebagai agama terror tanpa mewawancarai pihak ang bersangkutan karena umat islam di barat sudah di anggap dari bagian the others. Sehingga stigma buruk pasti akan menempel di umat islam dibarat akibat representasi seperti ini.
2. Ekslusi adalah dalam merepresentasikan sebuah berita , seorang penulis berita tetap menganggap seperti pada wilayahg ekskomunikasi yaitu salah satu pihak merupakan the other, tetapi dalam proses wawancara pihak the other tetap di berikan kesempatan untuk mengungkapkan suaranya tretapi dalam porsi yang sangat kecil.
Misalnya : pada asus lia eden dalam hal ini ia di anggap menyebarkan aliran sesat dan dia masih di wawancarai tetapi segala apa yang ia katakan di anggap tidak sah
3. Marginalisasi adalah dalam mempresentasikan sebuah berita wartawan memarginalkan pihak lain dengan penghalusan makna (eufisme) atau pengkasaran makna (defeuisme) dan pihak yang bersangkutan tetep oleh ngomong/mempunyai hak untuk bicara.
Misalnya : pada pemberitaan penggusuran PKL mesti menggunakan penertiban yang itu merupakan eufisme yang mengakibatkan seorang pembaca di giring untuk tidak berfikir ke yang lain. Dan hal itu akan menyimpulkan pembaca bahwa proses penggusuran dengan menggunakan penertiban itu benar.
4. Delegitimasi adalah dalam mempresentasikan berita seorang wartawan /penulis berita untuk menyimpulkan sesuatu yang absah ketika seseorang di hadapkan dengan undang-undang, sehingga orang-orang yang tak punya nama dalam undang-undang selalu tak di anggap asah
misalnya: dalam pemberitaan kasus dukun cilik ponari, pernyataan yang selalu di anggap enar adalah perkataan dari dokter dan para ulama’ yang tentunya mereka leih mengerti dari pada seorang ponari sehingga meskipun batu ajaib ponari bisa menyembuhkan penyakit, dalam wawancara perkataan ponari tetap di anggap tidak sah

dari Proses representasi berita seorang penulis berita secara sadar ataupun tidak selalu di hadapkan dengan masalah missrepresentasi, karena hal ini secara tidak langsung memang sudah mengkarat dalam otak para penulis berita. Dan dengan adanya missrepresentasi ini tentunya hanya akan selalu di menangkan oleh kaum borjuis, Kapitalis yang tentunya mereka yang mempunyai modal dan kaum buruh pasti akan selalu tertindas, (EISYCUTE)

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi Pendidikan
Pecahnya kabar burung yang selalu jadi perbincangan dikalangan mahasiswa. BLU yang masih jadi topik hangat perbincangan dan yang selalu jadi pertanyaan. siapa yang untung dan rugi dengan sistem ini, instansi atau mahasiswa?
Isu akan diterapkannya badan layanan umum (BLU) di IAIN Sunan Ampel Surabaya bukan isapan jempol semata. Hal ini terbukti saat diadakannya dialog terbuka pada jum’at (26/3) yang membahas tentang dana praktikum yang dikenakan pada mahasiswa semester 2 sebesar 200 ribu dan menyinggung tentang penerapan BLU sendiri. Hal ini mengundang beberapa presepsi dari kalangan mahasiswa terutama organisasi-organisasi mahasiswa yang tidak sepakat dengan sistem tersebut karena dinilai mengkomersilkan pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum, melaksanakan ketentuan pasal 69 ayat (7) undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Uindang-undang di atas adalah landasan berdirinya badan layanan umum (BLU). Badan ini berorientasi pada kemandirian suatu instansi dengan mencari keuntrungan dalam berbisnis yang didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Salah satu sumber mengatakan” bahwa hal ini dilkukan ssbagai batu loncatan lembaga tersebut dalam menyambut datangnya BHP yang wajib diterapkan di semua perguruan tinggi tahun 2013.”
Dalam hal ini akan terlihat komersialisasian pihak instansi terhadap pendidikan dan fasilitas sarana prasarana yang ada dalam instansi tersebut. Ini menjadi miris saat semua pihak akan terarahkan pada proses bisnis dan keuntungan semata. Dan pihak yang dirugikan jelaslah mahasiswa yang telah membayar spp tapi tidak mendapat pelayanan pendidikan yang layak.
Selain itu mahasiswa sendiri sulit memanfaatkan fasilitas yang disediakan karena semuanya dikomersilkan. Hal inilah yang dikhawatirkan banyak mahasiswa karena hanya yang mempunyai uang saja yang dapat mengakses dan memanfaatkan fasilitas kampus. Lebih dikhawatirkan lagi saat pendidikan yang harusnya menjadi tempat mencari ilmu dan proses perubahan akan menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.
Pendidikan adalah hak segala bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 telah menjadi tulisan di kertas dan sejarah belaka takkan ada realitasnya. Karena dengan sistem seperti ini yang dapat hak akses pendidikan adalah mereka yang punya uang. Apakah dengan ini cara pemerintah lepas tangan atas tanggungjawab mencerdaskan seluruh warga negaranya?.

Permohonan Izin Observasi

KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Jend. A. Yani 117 Telp. (031) 8437893 – 8410298 Fax (031) 8413300 Surabaya – 60237

Nomor : In.02/TL.00/ /XII/2010 Surabaya, 03 Oktober 2010
Lamp : -
Hal : Permohonan Izin Observasi

Kepada
Yth. Kepala SMPI Iskandar Said
Di-
Surabaya

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat disampaikan bahwa mahasiswa tersebut di bawah ini:
Nama : Aisyah Umaroh
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/ Kependidikan Islam
NIM : D03208046
Semester : V (Lima)

Dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah materi Bimbingan Konseling Kelompok dan Individu, dalam hal ini tentang: ” Bagaimana pengelolaan bimbingan konseling kelompok dan individu pada siswa di sekolah”, maka perlu mendapat pedoman tentang hal tersebut.
Untuk pelaksanaan tugas diatas, mohon kiranya Saudara berkenan memberikan izin dan bantuannya dalam pelaksanaan observasi.
Demikian atas bantuan dan kerja samanya disampaikan terima kasih.
Wassalam,
DEKAN,


Dr. H. NUR HAMIM, M. Ag
NIP. 196203121991031002

Syirkah dan Mudharabah

Syirkah dan Mudharabah
Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliyah
“FIQH”











Disusun Oleh

Ageng Ariadin D0 3208032
Aisyah Umaroh D0 3208046



Dosen Pembimbing
Imam Syafii, S.Ag, M.Pd



JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM (KI)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Hirobbil`alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat taufik dan Inayah-Nya kepada kita, khususnya bagi penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini diperuntukkan bagi Mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Diantara tujuan penulisan makalah ini adalah untuk tugas Fiqih . Kepada ayahanda Imam Syafii, S.Ag, M.Pd, sebagai dosen pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini bukanlah merupakan hasil akhir dan terbaik serta prose dari sebuah penulisan. Tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan dan pasti banyak terdapat kesalahan akan tetapi penulis ingin berusaha untuk menyuguhkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi peningkatan dan perbaikan penulisan karena penulis menyadari bahwa penulisan masih banyak kekurangan serta kesalahan-kesalahan. Dan pada akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan kaca perbandingan ataupun informasi yang mana diperlukani bagi semua pihak yang berkepentingan.












BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Syirkah dan Mudharabah.
Dengan hal ini sesungguhnya adalah kerja sama, gotong-royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum. Kerja sama dan gotong-royong ini sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi. Dalam syirkah misalnya, modal awal dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaiman pengertian syirkah?
2. Ada berapa macam bentuk syirkah?
3. Apa rukun dan syarat Syirkah
4. Apa yang di maksud Al Mudharabah?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah atau perseroan dalam bahasa Indonesia memiliki makna penggabungan dua atau lebih yang tidak bisa lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam istilah syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih, dimana mereka saling bersepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dan mendatang keuntungan (profit).
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Allah berfirman
 

“mereka bersekutu dalam sepertiga (QS. An-Nisa`:12)


•             • 

“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini” (QS. Shad: 24)





B. Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Ekonomi Islam, yaitu:
• syirkah inân
• syirkah abdan
• syirkah wujûh
• syirkah mufâwadhah
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu:
• syirkah inân
• abdan, dan
• mudhârabah.
Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah.

A. Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.
Contoh syirkah inân: Fandi dan Rip berprofesi sebagai Akuntan Publik. Fandi dan Rip sepakat membuka praktek pelayanan jasa Akuntan Publik. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 350.000,00 dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)

B. Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. Tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau.

C. Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.

D. Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

3. Rukun Dan Syarat Syirkah

A. Rukun syirkah
Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu :
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah).
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)

B. Syarat-syarat umum syirkah
1. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.
2. Keuntungan yang didapat nanti dari hasul usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya.
3. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.

C. Syarat-syarat khusus
1. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.
Adapun menurut An-nabani, syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

4. Pengertian Al Mudharabah

Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki. Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ

“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,
Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya.
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

A. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam

Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah ). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.

B. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

C. Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

D. Rukun Al Mudharabah

Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
• Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
• Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
• Pelafalan perjanjian.

1. Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2. Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. Modal yang diserahkan harus tertentu. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha

Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
Keuntungan harus diketahui secara jelas. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.”
Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).”

E. Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:

1. Syarat yang shahih (dibenarkan)
yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar)
Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

F. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.













BAB III
SIMPULAN

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Allah berfirman
 
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Ekonomi Islam, yaitu:
• syirkah inân
• syirkah abdan
• syirkah wujûh
• syirkah mufâwadhah
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal.
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh
Rukun syirkah
Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu :
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah).
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
Pengertian Al Mudharabah
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan
Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi
Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib
Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
• Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
• Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
• Pelafalan perjanjian.
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA


Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath

Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, 1412H Al Mughni, turki: Hajr

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 1405 H Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil, Baerut: Al maktab Islami

prof. DR Abdullah Al Mushlih , prof. DR. Shalah Al Showi, Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu . Basyir, Abu Umar, Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq

Syafei, Rachmat, MA, 2001, Fiqih Mu`amalah, Bandung: Pustaka setia