Senin, 10 Januari 2011

Representasi Pada Analisis Berita

Representasi Pada Analisis Berita
Representasi merupakan penghadiran kembali sebuah fakta melalui kata. Dalam merepresentasikan sebuah berita, setiap kepala wartawan/penulis berita pasti di hadapkan dengan beberapa pendekatan yang menjadikan missrepresentasi. Di antara pendekatan tersebut adalah
1. Ekskomunikasi adalah menghadirkan suatu berita dengan menganggap salah satu pihak merupakan the other karena dalam konteks ini ada We n the other. sehingga kelompok minoritas tidak berhak mendapatkan kesempatan untuk berbicara
Misalnya: islam di barat ketika di tampilkan islam merupakan agama sarang teroris dan mengajarkan untuk menjadi teroris. salah satu dari bagian umat islampun tak satupun yang di wawancarai sehingga secara langsung ia m,engatakn islam sebagai agama terror tanpa mewawancarai pihak ang bersangkutan karena umat islam di barat sudah di anggap dari bagian the others. Sehingga stigma buruk pasti akan menempel di umat islam dibarat akibat representasi seperti ini.
2. Ekslusi adalah dalam merepresentasikan sebuah berita , seorang penulis berita tetap menganggap seperti pada wilayahg ekskomunikasi yaitu salah satu pihak merupakan the other, tetapi dalam proses wawancara pihak the other tetap di berikan kesempatan untuk mengungkapkan suaranya tretapi dalam porsi yang sangat kecil.
Misalnya : pada asus lia eden dalam hal ini ia di anggap menyebarkan aliran sesat dan dia masih di wawancarai tetapi segala apa yang ia katakan di anggap tidak sah
3. Marginalisasi adalah dalam mempresentasikan sebuah berita wartawan memarginalkan pihak lain dengan penghalusan makna (eufisme) atau pengkasaran makna (defeuisme) dan pihak yang bersangkutan tetep oleh ngomong/mempunyai hak untuk bicara.
Misalnya : pada pemberitaan penggusuran PKL mesti menggunakan penertiban yang itu merupakan eufisme yang mengakibatkan seorang pembaca di giring untuk tidak berfikir ke yang lain. Dan hal itu akan menyimpulkan pembaca bahwa proses penggusuran dengan menggunakan penertiban itu benar.
4. Delegitimasi adalah dalam mempresentasikan berita seorang wartawan /penulis berita untuk menyimpulkan sesuatu yang absah ketika seseorang di hadapkan dengan undang-undang, sehingga orang-orang yang tak punya nama dalam undang-undang selalu tak di anggap asah
misalnya: dalam pemberitaan kasus dukun cilik ponari, pernyataan yang selalu di anggap enar adalah perkataan dari dokter dan para ulama’ yang tentunya mereka leih mengerti dari pada seorang ponari sehingga meskipun batu ajaib ponari bisa menyembuhkan penyakit, dalam wawancara perkataan ponari tetap di anggap tidak sah

dari Proses representasi berita seorang penulis berita secara sadar ataupun tidak selalu di hadapkan dengan masalah missrepresentasi, karena hal ini secara tidak langsung memang sudah mengkarat dalam otak para penulis berita. Dan dengan adanya missrepresentasi ini tentunya hanya akan selalu di menangkan oleh kaum borjuis, Kapitalis yang tentunya mereka yang mempunyai modal dan kaum buruh pasti akan selalu tertindas, (EISYCUTE)

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi Pendidikan
Pecahnya kabar burung yang selalu jadi perbincangan dikalangan mahasiswa. BLU yang masih jadi topik hangat perbincangan dan yang selalu jadi pertanyaan. siapa yang untung dan rugi dengan sistem ini, instansi atau mahasiswa?
Isu akan diterapkannya badan layanan umum (BLU) di IAIN Sunan Ampel Surabaya bukan isapan jempol semata. Hal ini terbukti saat diadakannya dialog terbuka pada jum’at (26/3) yang membahas tentang dana praktikum yang dikenakan pada mahasiswa semester 2 sebesar 200 ribu dan menyinggung tentang penerapan BLU sendiri. Hal ini mengundang beberapa presepsi dari kalangan mahasiswa terutama organisasi-organisasi mahasiswa yang tidak sepakat dengan sistem tersebut karena dinilai mengkomersilkan pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum, melaksanakan ketentuan pasal 69 ayat (7) undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Uindang-undang di atas adalah landasan berdirinya badan layanan umum (BLU). Badan ini berorientasi pada kemandirian suatu instansi dengan mencari keuntrungan dalam berbisnis yang didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Salah satu sumber mengatakan” bahwa hal ini dilkukan ssbagai batu loncatan lembaga tersebut dalam menyambut datangnya BHP yang wajib diterapkan di semua perguruan tinggi tahun 2013.”
Dalam hal ini akan terlihat komersialisasian pihak instansi terhadap pendidikan dan fasilitas sarana prasarana yang ada dalam instansi tersebut. Ini menjadi miris saat semua pihak akan terarahkan pada proses bisnis dan keuntungan semata. Dan pihak yang dirugikan jelaslah mahasiswa yang telah membayar spp tapi tidak mendapat pelayanan pendidikan yang layak.
Selain itu mahasiswa sendiri sulit memanfaatkan fasilitas yang disediakan karena semuanya dikomersilkan. Hal inilah yang dikhawatirkan banyak mahasiswa karena hanya yang mempunyai uang saja yang dapat mengakses dan memanfaatkan fasilitas kampus. Lebih dikhawatirkan lagi saat pendidikan yang harusnya menjadi tempat mencari ilmu dan proses perubahan akan menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.
Pendidikan adalah hak segala bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 telah menjadi tulisan di kertas dan sejarah belaka takkan ada realitasnya. Karena dengan sistem seperti ini yang dapat hak akses pendidikan adalah mereka yang punya uang. Apakah dengan ini cara pemerintah lepas tangan atas tanggungjawab mencerdaskan seluruh warga negaranya?.

Permohonan Izin Observasi

KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Jend. A. Yani 117 Telp. (031) 8437893 – 8410298 Fax (031) 8413300 Surabaya – 60237

Nomor : In.02/TL.00/ /XII/2010 Surabaya, 03 Oktober 2010
Lamp : -
Hal : Permohonan Izin Observasi

Kepada
Yth. Kepala SMPI Iskandar Said
Di-
Surabaya

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat disampaikan bahwa mahasiswa tersebut di bawah ini:
Nama : Aisyah Umaroh
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/ Kependidikan Islam
NIM : D03208046
Semester : V (Lima)

Dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah materi Bimbingan Konseling Kelompok dan Individu, dalam hal ini tentang: ” Bagaimana pengelolaan bimbingan konseling kelompok dan individu pada siswa di sekolah”, maka perlu mendapat pedoman tentang hal tersebut.
Untuk pelaksanaan tugas diatas, mohon kiranya Saudara berkenan memberikan izin dan bantuannya dalam pelaksanaan observasi.
Demikian atas bantuan dan kerja samanya disampaikan terima kasih.
Wassalam,
DEKAN,


Dr. H. NUR HAMIM, M. Ag
NIP. 196203121991031002

Syirkah dan Mudharabah

Syirkah dan Mudharabah
Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliyah
“FIQH”











Disusun Oleh

Ageng Ariadin D0 3208032
Aisyah Umaroh D0 3208046



Dosen Pembimbing
Imam Syafii, S.Ag, M.Pd



JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM (KI)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Hirobbil`alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat taufik dan Inayah-Nya kepada kita, khususnya bagi penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini diperuntukkan bagi Mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Diantara tujuan penulisan makalah ini adalah untuk tugas Fiqih . Kepada ayahanda Imam Syafii, S.Ag, M.Pd, sebagai dosen pembimbing, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini bukanlah merupakan hasil akhir dan terbaik serta prose dari sebuah penulisan. Tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan dan pasti banyak terdapat kesalahan akan tetapi penulis ingin berusaha untuk menyuguhkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi peningkatan dan perbaikan penulisan karena penulis menyadari bahwa penulisan masih banyak kekurangan serta kesalahan-kesalahan. Dan pada akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan kaca perbandingan ataupun informasi yang mana diperlukani bagi semua pihak yang berkepentingan.












BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Syirkah dan Mudharabah.
Dengan hal ini sesungguhnya adalah kerja sama, gotong-royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum. Kerja sama dan gotong-royong ini sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi. Dalam syirkah misalnya, modal awal dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaiman pengertian syirkah?
2. Ada berapa macam bentuk syirkah?
3. Apa rukun dan syarat Syirkah
4. Apa yang di maksud Al Mudharabah?





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah atau perseroan dalam bahasa Indonesia memiliki makna penggabungan dua atau lebih yang tidak bisa lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam istilah syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih, dimana mereka saling bersepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dan mendatang keuntungan (profit).
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Allah berfirman
 

“mereka bersekutu dalam sepertiga (QS. An-Nisa`:12)


•             • 

“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini” (QS. Shad: 24)





B. Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Ekonomi Islam, yaitu:
• syirkah inân
• syirkah abdan
• syirkah wujûh
• syirkah mufâwadhah
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu:
• syirkah inân
• abdan, dan
• mudhârabah.
Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah.

A. Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.
Contoh syirkah inân: Fandi dan Rip berprofesi sebagai Akuntan Publik. Fandi dan Rip sepakat membuka praktek pelayanan jasa Akuntan Publik. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 350.000,00 dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)

B. Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. Tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau.

C. Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.

D. Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

3. Rukun Dan Syarat Syirkah

A. Rukun syirkah
Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu :
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah).
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)

B. Syarat-syarat umum syirkah
1. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.
2. Keuntungan yang didapat nanti dari hasul usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya.
3. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.

C. Syarat-syarat khusus
1. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.
Adapun menurut An-nabani, syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

4. Pengertian Al Mudharabah

Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki. Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari kata muqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ

“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,
Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya.
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

A. Hukum Al Mudharabah Dalam Islam

Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah ). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizaman shallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.

B. Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

C. Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

D. Rukun Al Mudharabah

Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
• Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
• Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
• Pelafalan perjanjian.

1. Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

2. Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. Modal yang diserahkan harus tertentu. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha

Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
Keuntungan harus diketahui secara jelas. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.”
Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).”

E. Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:

1. Syarat yang shahih (dibenarkan)
yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar)
Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.

F. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya. Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.”
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.













BAB III
SIMPULAN

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.
Syirkah menurut bahasa berarti percampuran. Sedangkan menurut istilah syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Allah berfirman
 
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Ekonomi Islam, yaitu:
• syirkah inân
• syirkah abdan
• syirkah wujûh
• syirkah mufâwadhah
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal.
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh
Rukun syirkah
Rukun Syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu :
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah).
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
Pengertian Al Mudharabah
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan
Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas).
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi
Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib
Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
• Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
• Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
• Pelafalan perjanjian.
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA


Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath

Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, 1412H Al Mughni, turki: Hajr

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 1405 H Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil, Baerut: Al maktab Islami

prof. DR Abdullah Al Mushlih , prof. DR. Shalah Al Showi, Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu . Basyir, Abu Umar, Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq

Syafei, Rachmat, MA, 2001, Fiqih Mu`amalah, Bandung: Pustaka setia

FKMB-ku Kini telah “Bangun”

FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bojonegoro) sebuah organisasi daerah milik mahasiswa Bojonegoro sebagai wadah penyaluran potensi sekaligus tempat berkumpulnya seluruh mahasiwa daerah asal Bojonegoro. organisasi yang sudah berdiri sejak sepuluh tahun lalu ini memang sudah tidak asing lagi untuk di dengar seluruh penghuni kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya maupun daerah Bojonegoro sendiri. Kepengurusan pada periode 2010-2011 ini di ketuai oleh Ama’ Hisbul Maulana, Misbakhul Afifudiin sebagai sekretaris, dan Khoirotul Ula sebagai bendahara.
Organisasi yang visinya sebagai wadah kreativitas dan karya, dari generasi-generasi asal Bojonegoro ini melahirkan sebuah gebrakan baru dalam mengembangkan potensi-potensi yang di miliki. Terbukti banyak program-program atau agenda yang direncanakan dalam mengembangkan visi tersebut. Dalam program kepengurusan saat ini setidaknya ada tiga Devisi yang dibentuk agar mempermudah anggota FKMB dalam mengembangkan potensinya diantaranya :
1. Devisi PA (Pengembangan Anggota) yang dikoordinatori oleh Mas’ud. Devisi pengembangan intelektual sangat di prioritaskan karena dari teman-teman Bojonegoro yang paling utama dibutuhkan adalah tingkat SDM (sumber daya manusia). Dalam devisi PA ini mempunyai beberapa kegiatan yaitu diskusi yang dilaksanakan tiap hari rabu, diklat makalah, English club, rapat bidang, Mapeta (Masa Pengkaderan Anggota) dan ruja’an.
2. Devisi K2O (kesenian, kekaryaan dan olahraga) yang dikoordinatori oleh Aisyah Umaroh. Sesuai dengan nama devisi ini pastinya mempunyai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesenian, kekaryaan, dan olahraga. Sama dengan devisi PA didalam K2Opun mempunyai program kerja yang tidak kalah menarik, bahkan kebanyakan anggota lebih suka mengikuti kegiatan yang telah diprogramkan oleh devisi K2O di bandingkan devisi lain. Program kerja K2O diantaranya mengadakan diklat jurnalistik bagi redaktur maupun anggota FKMB, mengadakan kajian analisis wacana, mengadakan agenda olahraga di sekitar kampus yang dilaksanakan tiap dua minggu sekali, samin FC (football club), kresek abon, serta Penerbitan buletin Samin News.
3. Devisi Kedaerahan, dalam devisi ini di koordinatori oleh Hanif Ashar. Namanya saja kedaerahan jadi kegiatannyapun banyak yang mengacu pada daerah yaitu Bojonegoro. Ini sangat menarik sekali untuk dipelajari sebagai bekal kedepannya karena bagaimanapun juga kalau kita sudah tidak lagi menuntut ilmu di IAIN Sunan Ampel Surabaya kita akan kembali ke daerah asal. Salah satu kegiatannya yaitu syiar ramadhan yang sudah dilaksanakan pada pada bulan ramadhan kemaren di daerah Ngasem, Bojonegoro. Kegiatan ini memberikan dampak positif baik secara personal, organisasi maupun masyarakat Ngasem. Dalam devisi ini ada juga agenda lain yaitu sedekah bumi, pemberdayaan putra daerah, diskusi budaya, maupun dalam menjalin diplomasi dengan FKMB di kampus selain IAIN Sunan Ampel Surabaya.
“Dari beberapa agenda yang kami programkan selama periode 2010-2011 ini, agenda yang sudah terlaksana baru mencapai 35% saja, karena sampai sekarang belum ada serah kepengurusan dari pengurus periode kemaren.” Tutur ketua Umum FKMB kepada crew Samin News
Ketua juga mengeluhkan, dalam menjalankan program-program banyak sekali kendala yang muncul dan ini menyebabkan terhambatnya kegiatan. Kendala ini kebanyakan berasal dari mahasiswa sendiri karena diskusi yang telah dijadwalkan sering bentrokan oleh jam-jam kuliah bahkan dari semester satu jarang yang datang. Selain itu budaya molor juga masih mendarah daging pada anggota FKMB maupun pengurusnya, padahal ini sangat berpengaruh terhadap jalannya diskusi sehingga dirasa kurang begitu maksimal.
Kondisi keuanganpun juga mempengaruhi lancar tidaknya kegiatan. Dalam catatan keuangan FKMB rasanya cukup memprihatinkan. Mengapa? Berdasarkan kenyataan setiap kali ada kegiatan yang akan dilaksanakan pasti membutuhkan dana. Sekarang petanyaannya darimana dana tersebut? Jawabannya pasti kalau tidak iuran secara langsung ya mengajukan proposal. Ini sangat tidak efektif sekali kalau FKMB tidak mempunyai kas sendiri. Nah, untuk kedepannya bendahara FKMB memprogramkan untuk setiap bulannya dikenakan iuran 2000 per anggota atau iuran 500 yang dibayar tiap kali ada kajian. Program ini sudah dilaksanakan kira-kira satu bulan terakhir ini. “ kalau hanya mengandalkan iuran FKMB tidak bisa berkembang jadi setidaknya devisi lain mempunyai kreativitas yang bisa menambah keuangan.” Ujar Bendahara FKMB saat di temui di tempat terpisah
Harapan terakhir yang muncul dari pak ketua umum agar anggota dapat menganggap FKMB sebagai rumah idaman mereka, tidak canggung di FKMB dan juga di harapkan mempunyai karakter tersendiri, tidak hanya ngumpul saja tetapi juga menghasilkan kreativitas karena itu berguna bagi diri sendiri, organisasi maupun untuk daerah Bojonegoro.(ayu, iezza, nunung)

Akankah Wanita Selalu Terpinggirkan?

Wacana dan isu kesetaraan gender beberapa tahun ini telah menggema luar biasa di seluruh nusantara. Berbagai program di rancang untuk menyosialisasikan program yang katanya dapat membangkitkan kaum hawa dari penindasan kaum adam. Bahkan, seolah-olah, paham ini sudah dianggap suatu kebenaran, yang tidak boleh dipersoalkan, hal ini tentunya berbanding terbalik jika dikaitkan dengan berita yang beredar di masyarakat saat ini. Beberapa minggu yang lalu di media cetak maupun media elektronik gempar memberitakan hasil penelitian yang di lakukan oleh BKKBN Pusat yang menyatakan bahwa remaja putri di wilayah Jabodetabek 51% sudah tidak perawan, sedang di Surabaya sejumlah 54%, di medan 52%, di bandung 47%. Sedangkan Menurut salah satu surat kabar yang terbit tanggal 1 desember 2010 menyatakan 66% remaja putri usia SMP dan SMA tidak perawan, berdasarkan survey komisi penanggulangan aids (KPA) yang di lakukan secara nasional
Ketika ada penelitian seperti ini harusnya semua dapat berfikir “Dengan siapa remaja putri melakukan hubungan Sex hingga ia dapat dikatakan sudah tidak perawan? Apa mungkin remaja putri ini melakukan sendiri?, tak lain dan tak bukan remaja putri melakukan hubungan seks dengan remaja putra juga, bukan? Lantas mengapa yang di sorot hanya remaja putri? Dan sampai saat ini tidak ada satu berita atau penelitian satupun yang mengangkat sekian persen remaja putra sudah kehilangan kejantanannya.
Dalam kasus pemberitaan maupun penelitian yang di lakukan oleh beberapa pihak, tentunya hal ini sangat menyudutkan kaum wanita karena di dalam hal ini posisi wanita tidak ada celah sedikitpun untuk berekspresi ataupun mengutarakan perasaan yang di alami atas pemberitaan media tersebut.
Kasus lain yang menjadi perguncingan hebat di kalangan aktifis mengenai pemerkosaan, seluruh masyarakat telah memiliki pemikiran bahwa “tak mungkin ada kucing menolak ketika diberi ikan pindang” kucing di istilahkan sebagai lelaki dan pindang di artikan sebagai wanita. Dengan kata lain Masyarakat beranggapan tak mungkin laki-laki akan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan, jika perempuan itu dapat menjaga kehormatannya, dan masyarakat beranggapan terjadinya pemerkosaan itu karena salah pihak wanita. Apalagi jika si wanita hamil di luar nikah, Karena di anggap buruk oleh Masyarakat si wanita yang sudah menjadi korban akan di asingkan dari tempat tinggalnya.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah kasus PSK (pekerja seks komersial), PSK selalu identik dengan kaum wanita, padahal di masyarakat juga ada laki-laki yang menjual kelaminnya untuk di konsumsi publik, hanya saja kasus itu tidak tercium oleh para pekerja media sehingga yang selalu menjadi sorotan hanyalah mereka kaum wanita yang menjual kelaminnya.
Wacana yang selalu di gembar-gemborkan oleh para aktifis itu ternyata hanyalah menjadi wacana yang tidak mengubah apapun, karena ternyata di setiap pemberitaan yang ada di media selalu menyudutkan kaum wanita yang lagi-lagi selalu menjadi korban di balik pemberitaan media.
Sampai kapan penindasan terselubung terhadap wanita akan berakhir seperti tujuan dan mimpi yang digemborkan aktifis, jika para penggerak media yang karyanya dikonsumsi public selalu menyudutkan wanita? Rasanya wanita tak lagi punya tempat untuk singgah sedikitpun padahal banyak yang mengatakan wanita memiliki kebebasan berpendapat maupun berekspresi layaknya laki-laki tanpa mengurangi kehormatan para lelaki, tapi jika tetap sama maka semua itu omong kosong belaka.
Oleh : Aisyah Umaroh*
Crew Edukasi Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya

sistem manajemen pondok pesantren

Sistem Manajemen Pondok Pesantren Mahasiswa yang Ideal
Karya ilmiah
di ajukan untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja
Di pondok pesantren mahasiswa Al-jihad Surabaya
Oleh : Aisyah Umaroh (Zulaikha)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan dalam pembuatan karya tulis ini ini tepat pada waktu yang telah di tentukan.
Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi agung Muhammad SAW. Karena dengan perjuangan beliau kita dapat merasakan kehidupan yang damai ini dalam dinnul Islam.
Sehubungan dengan adanya penulisan karya tulis ini kami sebelumnya minta maaf, apabila ada kesalahan atau kekeliruan yang ada dalam karya tulis ini, oleh karena itu dalam pengkajian suatu yang ditela’ah ini terfokuskan pada suatu inti yang mana isi yang terkandung di dalam karya tulis ini yaitu pembahasan Sistem manajemen Pondok pesantren mahasiswa yang ideal.
Dari sinilah kami sebagai penulis, mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kamar Zulaikha yang telah memberikan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah membalas atas kebaikan dan menyertakannya atas kita.
Kami sadar bahwa tulisan ini jauh dari kata yang sempurna. Untuk itu kami selalu membuka diri akan kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca untuk melengkapi makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini


Surabaya, 15 April 2010


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pondok pesantren mahasiswa merupakan tempat tinggal bagi mahasiswa yang juga mempunyai keinginan untuk memperdalam ilmu agama di pondok tersebut. Seperti yang sudah kita ketahui bersama layaknya sebuah lembaga lain tentunya memiliki manajemen yang akan mengarahkan langkah suatu lembaga itu, Begitu pula dengan pondok pesantren mahasiswa tentunya memiliki menajemen dalam menjalankan program-program agar pembelajaran dan aktifitas santri lebih maksimal sesuai denga yang di harapkan.

Suatu manajemen pondok pesantren mahasiswa tentu akan sangat berbeda penerapannya dengan pondok pesantren salafiyah pada umumnya karena pemikiran dan orientasi penghuni pondok yang pasti berbeda. Untuk lebih jelasnya di dalam karya tulis ini akan di bahas manajemen pondok pesantren mahasiswa sehingga dapat di katakan ideal.

B. RUMUSAN MASALAH
• Bagaimana manajemen pondok pesantren mahasiswa dapat di katakan ideal?
• Prinsip apa yang di gunakan pondok pesantren sehingga di katakan ideal?
• Bagaimana pola kepemimpinan pada pondok pesantren ideal?

C. TUJUAN
Tujuan penulis menulis karya tulis ini agar kita mengetahui bentuk manajemen yang di gunakan pondok pesantren ideal dan selanjutnya agar memahami,mengertiu dan dapat mengaplikasikan dalam proses pendidikan di pondok pesantren yang akan di kelola sehingga terwujudlah pondok pesantren yang dapat di katakan ideal.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Manajemen pondok pesantren mahasiswa yang ideal.
Kata pesantren berasal dari kata ‘santri’ yang memiliki arti istilah yang di gunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan islam tradisional di jawa. Kata santri yang mendapat imbuhan ‘pe’ di awal dan ‘an’ di kahir memiliki arti tempat para santri menuntut ilmu.
Kebanyakan pondok pesantren menerapkan manajemen yang berorientasi pada penanaman jiwa ketulusan, ke sukarelaan, yang biasanya di kenal dengan istilah khusus dengan “lillahi ta’ala”. Konsep lillahi ta’ala menjiwai hamper semua aktifitas pada pondok pesantrenn. Hanya saja konsep tersebut pada masa lalu banyak memiliki kelemahan yang utamanya disebabkan karena tidak di imbangi dengan kemampuan dan profesionalismen yang memadai sehingga pelaksanaan manajemen pada pondok pesantren tersebutapabila dilihat dari kacamata modern tampak ‘amburadul’ dan kurang efisien. Meski tidak dapat di pungkiri konsep lilahi taala dapat menjadi modal dasar utama dalam kehidupan pondok pesantren tradisional selama ini serta menjadikan pondok pesantren menjadi tahan banting dari segala gangguan dan pengaruh perubahan jaman.
Karateristik Manajemen berbasis pondok pesantren dapat di analisi dengan pendekatan
system yaitu dari segi input-proses-output.

1. Output yang di harapkan.
Pondok pesantren harus memiliki target output yang di harapkan adalah prestasi pondok pesantren yang di hasilkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran serta manajemen y6ang ada di pondok pesantren. Yang pada umumnya di klasifikasikan menjadi empat yaitu :
a. Output berupa prestasi pengetahuan akademik-keagamaan.
Prestasi pengetahuan yang merupakan output andalan dan sekaligus menjadi ciri khas dari pendidikan di pondok pesantrentanpa output tersebut secara baik maka suatu pondok pesantren akan kehilangan jati dirinya yang memang ahli dalam bidang ilmu agama islam. Output ini di tandai dengan tingginya penguasaan lulusan dalam bidang keagamaan misalanya: kemamp[uan dalam bidang bahasa arab yang sangat mahir dengan nahwu sharafnyam dapat membaca kitab kuninng secara bagus, membaca la-Quran dengan sangat lancer, menguasai hokum islam secara baik, memiliki akhlak yang baik, memiliki ketrampoilan berdakwah secara bagus, memiliki wawasan keislaman secara baik, dan kemampuan keislamannya yang lain secara baik pula.

b. Output berupa prestasi pengetahuan akademik –umum.
Prestasi pengetahuan yang merupakan di harapkan dapat meningkatkan para lulusan pondok pesantren agar ahli dalam mata pelajaran seperti matematika, sains, bahasa Indonesia serta bahasa asing sebagai modal dalam peningkatan kemampuan serta memenangkan pesaingan yang ketat di era global. Untuk mencapai bidang ini di harapkan sebuah pondok pesantren mau melakukan kerja sama dengan lembaga lain.

c. Output berupa prestasi dalam hal ketrampilan/kecakapan hidup.
Dengan di bekalinya ketrampilan/kecakapan hidup (life skill achiefement) di harapkan para santri setelah keluar dari pondok pesantren dapat hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Misalnya di ajarkannya cara penulisan buku yang memang ketika ia menunut ilmu di universitas sudah di bekali untuk itu, media dakwah modern, dan ketrampilan lain yang intinya dapat meningkatkan skill para santri.

d. Output berupa prestasi dalam bidang non akademik
Kemampuan yang tentunya dapat mendukung dari tiga kemampuan di atas misalnya: rasa kasih saying yang tinggi terhadap sesame, kejujuran, keingintahuan yang tinggi, kedisiplinan, dan dapat bekerjasama dengan baik kepada sesamebaik secara looperatif maupun secara kolaboratif.

2. Proses di pondok pesantren.
Di antara karakteristik yang harus di miliki oleh ondok pesantren mahasiswa yang ideal adalah:
a. Menjunjung tinggi IMTAQ dan akhlakul karimah.
b. Proses pembelajaran di pondok pesantren yang memiliki keefektifan yang tinggi sehingga membedakan dengan lembaga lain.
c. Adanya kepemimpinan pondok pesantren yang kuat.
d. Lingkungan pondok pesantren yang aman dan tertib yang menjadikan mahasiswa tidak kelayapan mengurusi hal-hal yang tidak berguna
e. Adanya pengelolaan tenaga yang efektif.
f. Pondok pesantren memiliki kelompokj kerja (team work) yang cerdas, dinamis, dan kompak.
g. Pondok pesantren memiliki kemandirian yang tinggi.
h. Adanya partisipasi yang tinggi dari warga pondok pesantren dan masyarakat.
i. Adanya transparansi manajemen.
j. Adanya kemampuan dan kemauan untuk berubah.
k. Adanya perencanaan, evaluasi, dan perbaikan secara berkala.
l. Pondok pesantren responsive, dan antisipatif, terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
m. Pondok pesantren memiliki komunikasi yang baik.
n. Pondok pesantren memiliki akuntabilitas yang tinggi.
o. Pondok pesantren memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas (kelangsungan hidupnya) secara baik.

3. Input pondok pesantren.
Karakteristik dari pondok pesantren yang efektif di antaranya memiliki inpuit dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Adanyan kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
b. Sumber daya tersedia dan siap.
c. Staf yang kompeten berdedikasi tinggi dan berakhlakulk karimah.
d. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
e. Focus pada pelanggan khususnya para santri
f. Adanya input manajemen yang memadai untu7k menjalankan roda pondok pesantren (adanya tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung pelaksanaan rencana, adanya aturan yang jelas dan tegas, serta adanya system pengendalian mutu yang efektif.
Apabila ada 3 aspek ini yang meliputi input, proses dan output maka di harapkan setiap santri tentunya akan mendapatkan bekal yang cukup sehingga setelah keluar dari pondok pesantren kelak seorang santri tak kan mungkin membebankan hidupnya kepada orang lain dan dia akan mampu hidup mandiri.


B. Prinsip Pondok Pesantren Mahasiswa Ideal
Beberapa prindip yang harus di miliki oleh pondok pesantren sehingga dapat di katakana ideal adalah sebagai berikut:
1. Teosentrik
2. Ikhlas dan pengabdian
3. Kearifan
4. Kesederhanaan
5. Kolektifitas (barokatul jama’ah)
6. Mengatur kegiatan bersama
7. Kebebasan terpimpin
8. Kemandirian
9. Tempat menuntut ilmu dan mengabdi
10. Mengamalkan ajaran agama
11. Belajar di pesantren bukan untuk mencari sertifiikat/ijazah saja
12. Kepatuhan terhadap kyai

Sedangkan pesantren juga memiliki peran dan fungsi yang setiap tahun selalu berubah, ketika awal (masa syaikh maulana malik Ibrahim) lembaga pondok pesantren memiliki fungsi sebagai pusat pemdidikan dan penyiaran agama islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang pendidikan dapat di jadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah sementara dakwah dapat di manfaatkan sebagai sarana dalam membangun system pendidikan.

C. Pola kepemimpinan Pondok Pesantren Ideal
Kefektifan perilaku kepemimpinan dapat di teropong dari beberapa sudut pandang diantaranya :
a. Sudut pandang kekuasaan.
Dari sudut ini seorang pemimpin dapat menggunakan secara otoriter, demokrasi dan leissez faire.
Di dalam agama islam sosok sebagai kyai adalah seseorang yang memiliki gelar yang harus di hormati layaknya raja, sehingga seseorang yang menjadi kyai dia akan di patuhi semua apa yang ia katakana oleh masyaraket setempat. Posisi yang serba menentukan itu akhirnya justru cenderung menyumbangkan terjadinya otoritas mutlak, Seorang kyai adalah sosok yang mengendalikan sumber-sumber terutama pengetahuan dan wibawa.yang merupakan bagi santrinya . maka kyai menjadi tokoh yang melayani sekaligus melindungi santri.

b. Sudut pandang tingkah laku.
Dari sudut pandang tingkah laku ini seorang pemimpin dapat menggunakan gaya kepemimpinan yaitu :
1. Menunjukkan masalah, alternative pemecahan masalah, dan apa yang harus di lakukan oleh kelompok.
2. Menjual keputusan dengan meyakinkan kelompok, bbahwa keputusan itu paling baik dan harus di laksanakan.
3. Menguji kelompok melalui pelemparan masalah dan alternative pemecahan sedangkan keputusan di ambilsetelah adanya reaksi dari kelompok.
4. Berkonsultasiatau menggabungkan diri dengan kelompok dalam arti berpartisipasi di dalam kerja kelompok.
5. Menyerahkan kepada kelompok kekuasaan untuk mengambil keputusan dan mengakui keputusan itu.

c. Sudut tolehan ke depan.
Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tolehan ke depan terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu :
1. Berorientasi pada pencapaian tujuan, walaupun suasana tegang.
2. Berorientasi pada pemeliharaan suasana kerja yang akrab, meskipun memungkinkan tujuan tidak tercapai.

Sehingga dari ke dua gaya tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :
a. Pemeliharaan suasana kerja rendah, upaya pencapaian tujuan rendah
b. Upaya pemeliharaan suasana kerja tinggi, pencapaian tujuan rendah.
c. Upaya pencapaian tujuan rendah, suasana kerja tinggi.
d. Upaya pencapaian tujuan tinggi, suasana pemeliharaan kerja rendah.

d. Sudut pandang waktu
1. Gaya lepemimpinan permanen yaitu gaya dasar yang sangat sulit berubah.
2. Gaya kepemimpinan situasional yaitu gaya kepemimpinan yang di sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan sewaktu-waktu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pondok pesantren menerapkan manajemen yang berorientasi pada penanaman jiwa ketulusan, ke sukarelaan, yang biasanya di kenal dengan istilah khusus dengan “lillahi ta’ala”. Konsep lillahi ta’ala menjiwai hamper semua aktifitas pada pondok pesantrenn. Hanya saja konsep tersebut pada masa lalu banyak memiliki kelemahan yang utamanya disebabkan karena tidak di imbangi dengan kemampuan dan profesionalismen yang memadai sehingga pelaksanaan manajemen pada pondok pesantren tersebutapabila dilihat dari kacamata modern tampak ‘amburadul’ dan kurang efisien. Meski tidak dapat di pungkiri konsep lilahi taala dapat menjadi modal dasar utama dalam kehidupan pondok pesantren tradisional selama ini serta menjadikan pondok pesantren menjadi tahan banting dari segala gangguan dan pengaruh perubahan jaman. Karateristik Manajemen berbasis pondok pesantren dapat di analisi dengan pendekatan
system yaitu dari segi input-proses-output.
Beberapa prindip yang harus di miliki oleh pondok pesantren sehingga dapat di katakana ideal adalah sebagai berikut: Teosentrik, Ikhlas dan pengabdian, Kearifan, Kesederhanaan, Kolektifitas (barokatul jama’ah), Mengatur kegiatan bersama, Kebebasan terpimpin, Kemandirian, Tempat menuntut ilmu dan mengabdi, Mengamalkan ajaran agama, Belajar di pesantren bukan untuk mencari sertifiikat/ijazah saja, Kepatuhan terhadap kyai.
Kefektifan perilkaku kepemimpinan dapat di teropong dari : Sudut pandang kekuasaan, Sudut pandang waktu, Sudut tolehan ke depan, Sudut pandang tingkah laku.

DAFTAR PUSTAKA

Sulton, M, Khusnuridlo, Moh, Manajemen Pondok Pesantren dalam perspektif global, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2006

Asrohah, Hanun, Pelembagaan Pesantren :asal –Usul dan prkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta: Bagian proyek, peningkatanm informasi penelitiasn dan diklat keagamaan separtemen agama RI, 2004

Qomar,, Mujamil, Pesantren : Dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
M.M. billah,’pesantren dan pemberdayaan masyarakat memasuki millennium III’ makalah di sampaikan pada seminar di hotel sahid jaya Jakarta 8-9 November 1999