Minggu, 14 Maret 2010

analisis mistisme

ANALISIS TENTANG MISTISME DAN AGAMA
A. Definisi Mistis
Menurut asal katanya, kata “Mistik” berasal dari kata Yunani (mystikos) yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinning), tersembunyi (verbergon), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).
Menurut buku De Kleine W. P. Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof. Dr. P. Van De Woestijne hlm 971). Kata “mistik” berasal dari bahasa Yunani “Myein” yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan “musteion” yang artinya suatu rahasia (geheimnis).
Berdasarkan arti tersebut, “mistik” sebagai sebuah paham yaitu paham “mistik” atau “mistisme”, merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misalnya ajarannya berbentuk rahasia, atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung, dalam kekelaman), sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.
Selain diperolehnya definisi dan pendapat, tentang paham “mistik” di atas, berdasarkan materi ajarannya juga memberikan adanya pemilahan antara paham “mistik” keagamaan (terkait dengan Tuhan ataupun ketuhanan).
B. Ajaran dan Sumbernya (Subyektif)
Selain serba mistis, ajarannya juga serba “subyektif” tidak “obyektif”. Tidak ada pedoman dasar yang universal, dan yang otentik, bersumber dari pribadi tokoh utamanya, sehingga paham “mistik” itu tidak sama satu sama lain, meski tentang hal yang sama. Sehingga pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan atau dikontrol dalam arti yang semestinya. Biasanya tokohnya sangat dimuliakan, diagungkan bahkan diberhalakan (dimitoskan, dikultuskan) oleh penganutnya, karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang biasa disebut dengan “Kharisma”. Sedangkan bagaimana sang tokoh itu menerima ajaran atau pengertian tentang paham yang diajarkannya itu bisa melalui “petualangan batin, pengasingan diri, bersemedi, bermeditasi”, dan lain-lain.
Jadi ajarannya diperoleh melalui pengalaman-pengalaman pribadi tokoh itu sendiri, dan penerimaannya itu tidak mungkin dibuktikannya sendiri kepada orang lain. Dengan demikian penerimaan ajarannya hampir-hampir hanya berdasarkan kepercayaan belaka, bukan pemikiran. Maka dari itulah, diantara kita ada yang menyebutnya paham, ajaran kepercayaan atau aliran kepercayaan (geloofsleer). Mengingat pengajarannya tidak mungkin dikendalikan dalam arti semestinya, maka paham “mistik” mudah memunculkan cabang baru menjadi aliran-aliran baru sesuai penafsiran masing-masing tokohnya. Atau juga sebaliknya mudah timbul penggabungannya atau percampuran ajaran paham-paham yang telah ada sebelumnya. karena serba “mistik”, maka paham “mistik” atau paham kelompok penganut paham mistik tidak terlalu sulit digunakan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu dan yang perlu dirahasiakan, karena menyalahi atau bertentangan dengan opini pada umumnya atau hukum yang berlaku sebagai tempat sembunyi.
C. Abstrak dan Spekulatif
Materinya serba “abstrak” artinya tidak konkrit, misal tentang Tuhan (paham mistik keturunan), tentang keruhanian atau kejiwaan, alam dibalik alam dunia (paham mistik non keagamaan), dan lain-lain. Dengan demikian pembicaraanya serba spekulatif, yaitu serba menduga-duga, mencari-cari, memungkin-mungkinkan (tidak kompulatif), dan lain-lain. Pembicaraanya serba berpanjang-panjang, serba berlebih-lebihan dalam arti melebihi kewajaran atau melebihi pengetahuan dan pengertiannya sendiri (meski tidak mengakui tidsk tahu, masih mencoba memungkin-mungkinkan). Oleh karena itu, dikalangan penganut paham mistik tidak dikenal pembahasan disiplin mengenai ajarannya sebagaimana yang berlaku dalam diskusi atau munaqasyah.


D. Sebab Orang Penganut Paham Mistik
1. Kurang puas berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada Tuhan menurut ajaran agama yang ada saja.
2. Rasa kecewa yang berlebihan, orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama, merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia dibidang “Science” dan “teknologi” yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketentraman dan kebahagiaan hidup, justru sebaliknya malah mendatangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka “Lari” dari kehidupan modern menuju kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.
3. Mencari hakikat yang sebenarnya, orang yang ingin mencari hakikat hidup. Sebenarnya juga ada yang terjebak, bahwa kebenaran hanya akan didapat dari pengalaman mistiknya.
E. Agama
Agama menurut kamus besar Bahsa Indonesia adalah system atau prinsip keprcayaan kepada Tuhan, atau bisa juga disebut dengan nama “Dewa” atau nama lainnya, dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Banyak sekali pendapat tentang “Agama”, tapi disini saya cuman mengambil pendapat mengenai “Agama”, menurut kamus besar Bahasa Indonesia, manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan, bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syung-ti, kama-sama, dan lain-lain atau hanya menyebut sifatnya saja, seperti yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng, Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa “Agama” itu pengahambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian “Agama” terdapat “3 unsur” , yaitu “manusia, penghambaan dan Tuhan”. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut disebut “Agama”.
F. Kesimpulan
Walaupun sekarang perbedaan antara religi (Agama dan mistik) sudah menjadi terang, tetapai dalam kenyataannya upacara-upacara keagamaan sering mengundang “unsur-unsur mistik”. Salah satu contoh adalah ucapan mantra-mantra, yang sering merupakan unsur penting dalam upacara-upacara keagamaan. Pengucapan “mantra” sebenarnya adalah suatu perbuatan “mistik”.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa, kecuali perbedaan sikap terhadap yang ghaib, kelakuan serba religi, keagamaan itu diselubungi oleh suasana kramat. Sedangkan kelakuan “mistik” tidak bersifat kramat. Mengenai lain-lain unsur, biasanya sering sukar untuk membedakan religi (keagamaan) dan “mistik”. Religi (keagamaan) dan “mistik” sering berdasarkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan yang sama. Sedangkan seperti yang kita lihat dalam realitasnya, keagamaan mungkin bersifat “upacara mistik”, atau “upacara mistik” menjadi upacara keagamaan.